Kamis, 24 Oktober 2019

KARYA SASTRA KHAS SUKU SASAK


NASKAH KUNO TAKEPAN DAUN LONTAR


Kisah Perjalanan
Pada hari minggu, 20 Oktober 2019 tepatnya, saya dan teman – teman  sudah janjian untuk pergi  ke desa Adat Sengkoah untuk belajar tentang naskah kuno, dalam hal ini naskah kuno khas suku Sasak yakni takepan. Yang saya banggakan dari teman – teman saya yakni walaupun mereka bukan suku Sasak, tapi dengan senang hati mereka ingin ikut belajar. Satu hari sebelum kami pergi ke lokasi, berhubung rumah saya dekat, jadi saya konfirmasi dengan mamiq yang akan menjadi narasumber kami, dikarenakan narasumber kami berpropesi sebagai Pembayun, yang biasanya hari minggu ada orang yang melakukan Sorong Serah Aji Krame.
Dalam perjalanan kami mendapat berbagai pengalaman, terutama teman – teman saya antara lain saat diperjalanan teman – teman saya lupa jalan ke Desa Adat Sengkoah dan akhirnya mereka nyasar dan saat diperjalanan kami menemukan orang nyongkolan, jadi sekalian saya mengenalkan salah satu ritual dalam pernikahan suku Sasak itu ke teman – teman saya yang berasal dari suku Samawa dan  Suku Mbojo.

Naskah Kuno ( Takepan )
Suku Sasak memiliki berbagai karya sastra yang diturunkan dari para leluhur, salah satunya naskah kuno “Takepan”. Takepan merupakan suatu karya sastra suku Sasak peninggalan leluhur terdahulu. Takepan biasanya ditulis pada daun lontar dan pada daun lontar tersebut dilubangi tengahnya dan dimasukkan tali sebagai pengikatnya.
Baiklah di sini saya akan sedikit bercerita tentang takepan yang dimiliki suku Sasak. Saya melakukan observasi ke Desa Adat Sengkoah, Desa Labulia, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah. Di sana ada seorang yang bergelut dengan naskah kuno Takepan. Mamiq Upi panggilan akrabnya. Beliau menekuni takepan sejak tahun 2017 silam. Beliau tidak belajar kepada siapa pun, keterampilan tersebut dituruni dari baloq (buyut) kemudian ke Niniq (Kakek) kemudian ke Mamiq (bapak) nya. Beliau juga berprofesi sebagai Pembayun dalam upacara Sorong Serah Aji Krame. Pembayun merupakan penyorong yang ditugaskan untuk melakukan salah satu ritual dalam prosesi adat pernikahan suku Sasak yakni prosesi Sorong Serah.

Takepan ada banyak jenisnya, antara lain:
a.      Takepan Rengganis merupakan takepan yang menceritakan tentang cinta, di mana takepan Rengganis menjadi pedoman para pemuda dan pemudi dalam memilih jodoh.
b.   Tekepan Ajar Wali merupakan takepan yang biasanya digunakan khusus untuk pengobatan, khusus untuk mengobati orang yang bisu, dalam bahasa Sasak dikenal dengan sebutan Garude Pakoq.
c.  Takepan Markum, merupakan takepan yang yang khusus untuk pengajian. Takepan ini untuk menggali tentang Syari’at, hakikat Tarikat, sampai ma’rikat. Takepan ini khusus mengkaji ilmu – ilmu hak, juga menceritakan tentang asal muasal manusia ada di dunia.
d. Takepan Perue Daksirne, Purwe berarti sebelum, Dak berarti mati, dan Sirne berarti musnah. Takepan ini menceritakan tentang perjalanan hidup setelah mati.
e.  Takepan Joharsah, merupakan takepan yang biasanya dibacakan pada saat ritual Selamet Bale (Syukuran rumah baru).
f.   Takepan Kayat Nur (Nabi Paras), takepan ini biasanya dibacakan ketika malam sebelum anak kecil akan di potong rambutnya (bekuris), misalnya anak kecil akan dipotong rambutnya senin pagi, nah takepan ini dibacakan pada malam senin.
g.      Takepan Jati Sware, merupakan takepan yang menceritakan tentang perjalanan diri.
h.  Takepan Anak Kidung, kidung artinya mantra atau do’a, merupakan takepan yang menceritakan tentang mantra – mantra dan do’a – do’a.. Di dalam takepan ini ada yang tidak boleh di baca, dikarenakan ada kejadian yang tidak boleh dibacakan.
i.        Takepan Puspekerme
Puspe artinya kembang, karme artinya ganjaran, jadi orang yang melakukan kebaikan, akan mendapat ganjaran yang baik pula. Takepan ini menceritakan tentang kisah datu (raja) yang bernama Raja Puspekerme, dan menceritakan tentang putra tunggalnya. Takepan ini tidak boleh dibaca setengah – setengah ketika takepan ini dibacakan saat selametan tanaman padi.
Puspekerme dibacakan ketika tanaman padi sudah berada pada fase pertengahan. Mengapa dibacakan ketika fase pertengahan? Agar nanti sari Dewi Sri yang ada di padi tersebut tidak ke mana- mana. Puspekerme juga dibacakan ketika membubus (memberi penghargaan ) kepada erbau yang digunakan untuk membajak sawah. Mengapa dibacakan saat fase pertengahan dari tanaman padi? Karena kerbau yang digunakan untuk membajak sawah tersebut  sudah selesai mengerjakan tugasnya, jadi kerbau tersebut diberi penghargaan (tebubus), kerbau tersebut dibuatkan ketupat dan tikel. Begitulah cara memberi penghargaan kepada kerbau yang sudah lelah membajak sawah. 
Nah, semua jenis takepan di atas dimiliki oleh mamiq Upi, namun saat saya melakukan observasi  ke kediaman beliau, ada beberapa takepan beliau yang sedang dipinjam oleh rekan sesama penulis naskah kuno Takepan, jadi kami hanya dapat melihat sebagian saja. Saat kami melakukan observasi, beliau (mamiq Upi) sedang menyalin salah satu tulisan takepan ke kertas hvs dan nantinya akan ditulis kembali ke daun lontar (memperbanyak takepan).

                                               Takepan Puspekerme & Jati Sware

                   
                                              Gambar beberapa takepan yang dimiliki mamiq Upi.

                    

                                                Foto saya & teman – teman saya, serta mamiq Upi.


Baiklah, sampai di sini dulu artikel saya ini, jika ada kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan artikel ini mohon tulis dikomentar ya. Terima kasih sudah mengunjungi dan membaca artikel saya. Semoga bermanfaat.

Mari sama – sama lestarikan budaya kita, jangan sampai tergerus oleh zaman sehingga menjadi punah. Anak muda cinta budaya lokal. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Salam anak muda cinta budaya lokal.

TRADISI DALAM KARYA SASTRA KHAS SUKU SASAK

“NYEPUT” TRADISI KHAS SUKU SASAK Assalamu’alaikum Waramatullahi Wabarakatuh.             Hai kawan – kawan, selamat datang...